Semalam, saya datang ke acara pembukaan Warung Mojok (Warmo). “Acarane apa?”
.
.
“Tumpengan, Mas.” jawab Nody, salah satu pemilik Warmo.
.
.
Lalu saya berangkat dengan keluarga, sengaja tanpa makan malam. Tapi sampai pertandingan sepakbola final Piala Dunia, tidak ada tanda-tanda tumpengan dibuka. Perut saya kelikikan. Mau pesan makan, lagi-lagi saya kepikiran ada tumpeng. Tidak enak kalau sampai pas tumpengan, saya tidak menyantap dengan lahap. Di berbagai kultur, menyantap lahap makanan tuan rumah adalah salah satu cara menggembirakan si tuan rumah.
.
.
Tapi beruntung, Kali memesan Indomie rebus. Sebelum habis, ibunya mengajak pulang karena hari ini adalah hari pertama masuk SD.
.
.
Pesan dari Diajeng masuk. “Aku tadi kelaparan. Kamu bilang, ada tumpengan?”
.
.
“Sama. Ini aku juga masih kelaparan.”
.
.
Acara selesai. Setelah transfer ke bandar karena Kroasia keok, saya berbincang dengan banyak teman sampai larut. Sampai mereka pulang satu per satu. Lalu sepasang mata saya tertumbuk ke bungkusan besar di atas meja kasir. “Iku apa, Kik?” tanya saya kepada Kikik yang masih ribet merapikan gelas-gelas.
.
.
“Lho kok gak dibuka terus dimakan?”
.
.
“Enggak tahu, Mas. Bukan wewenangku, Mas.”
.
.
“Terus wewenang siapa?”
.
.
“Seno sama Nody.”
.
.
Saya benar-benar tidak habis pikir. Bagaimana bisa, sebuah tumpeng yang mungkin ditunggu banyak orang, tumpengnya ada, diletakkan di tempat yang strategis, tidak dibuka, dipotong, dan dimakan.
.
.
Tidak masuk akal. Tidak masuk akal. Tidak masuk akal. Ora klebu nalar. Ora tinemu nalar.
– ditulis oleh Puthut EA