Kode, Karakter, Evaluasi

Disclosure: kami takkan banyak mengulas tentang diskusi kelas hari ketiga (mempelajarai karakter situsweb) dan hari keempat (teknik mengoptimalkan mesin pencari/ SEO). Narasi ini dibuat (dengan sengaja) untuk Adit semata, pengajar Kelas Digital dari dua pengajar lain yang sudah kami tulis sebelumnya. Detail materi kelas, bagi yang tertarik, bisa ditengok di sini.
KBEA/ Eko Susanto

ADITYA Rizki Yudiantika, anak muda yang paling kalem di Komunitas Bahagia, datang 30 menit sebelum kelas digital hari ketiga dimulai. Dari caranya dia menyapa, kita segera mengenali sesuatu yang melekat pada dirinya. Dari 99 asma Allah, dan karakter khas manusia pada 7 milyar penduduk di dunia, Adit memiliki senyum yang melimpah-limpah segampang makhluk bumi menggandakan diri. Dia selalu melempar senyum saat kali pertama kita menyapanya, dan senyum itu selalu dia bawa sepanjang kita mengobrol dengannya. Inilah ciri pembeda antara senyum Adit dan senyum Rifqi, sesama kolega di Komunitas Bahagia dengan julukan “taipan media” dari rekan kriminal lawasnya, yang senyum itu oleh Rifqi difungsikan untuk menjerat hati perempuan. Adit kasus lain sekaligus unik.

Jika kini artikel-artikel di media sosial yang mendatangkan pageview dalam bentuk panduan atau tips, hasil termudah dari imajinasi manusia tak terhingga dari warisan Newton yang gemilang, maka khusus untuk Adit, perkaranya ada pada momentum dan ironi. Continue reading Kode, Karakter, Evaluasi

‘Apa yang saya bicarakan di kelas digital yang tidak saya dapatkan ketika kuliah filsafat’ 

IMG_3493
KBEA/ Eko Susanto

SEORANG karibnya sesama studi filsafat di Universitas Gadjah Mada menyebutnya “taipan media.” Itu adalah sanjungan, sebaliknya adalah lelucon gelap bagi si karib. Mereka pernah bertemu di Jakarta sesudah yang satu berhasil selamat dari ‘dancing out,’ bekerja sebagai wartawan dengan membawa kisah asmara yang pahit, untuk mendapati kenyataan bahwa kemudian media tempatnya bekerja hanya berumur sekedipan mata.

Rifqi Muhammad, seperti biasa, selalu menanggapi sanjungan macam itu dengan senyuman; satu jenis senyum yang telah melelehkan lusinan perempuan, terutama dari kalangan hijaber,  seakan-akan jenis senyum itu datang dari rahasia Tuhan yang membuat seekor harimau Jawa mencair menjadi mentega. Si karib, Beni Satryo, seperti biasa pula dengan gaya yang landai—frase yang selalu dia gemari diproklamirkan—sumringah betul seakan telah menemukan keajaiban Tuhan. Mereka, dari saksimata yang berhari-hari kemudian menceritakan pertemuan karib lama itu kepada saya, segera berpelukan. Mereka bertemu di salah satu kantong seni di jantung kota Jakarta. Continue reading ‘Apa yang saya bicarakan di kelas digital yang tidak saya dapatkan ketika kuliah filsafat’ 

Kelas Digital: Sesi Perkenalan

2 Februari 2015

Kelas Digital 2015
KBEA/ Eko Susanto

MUAMMAR FIKRIE membuka kelas dengan perkenalan. Ia penulis isu media sosial dan internet untuk beritagar, satu situs kurasi berita yang berbasis di Jakarta. Ia juga sekilas mengenalkan tentang KBEA, singkatan dari Komunitas Bahagia EA, yang mulanya berkembang seiring mengerjakan proyek-proyek buku. Individu-individu di KBEA kemudian bertemu dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, dan sejalan itu pula mengembangkan satu komunitas yang tak hanya jadi ruang kreatif, tapi juga saling berbagi, setidak-tidaknya memiliki dimensi sosial.

Kenapa disebut komunitas bahagia? Sederhana saja. Para pegiatnya tengah mengembangkan persepsi tentang diri mereka di tengah lingkungannya, dari ruang domestik hingga relasi yang lebih luas, untuk senantiasa direfleksikan ke dalam (pilihan) tindakan sehari-hari. Mereka ada yang sudah berkeluarga, termasuk saya dan Fikrie, ada pula yang masih jomblo, yang seringkali kisah asmaranya berakhir ngenes–sampai-sampai harus dibuatkan situs Mojok.CO. Continue reading Kelas Digital: Sesi Perkenalan

Dari Klinik Buku ke Komunitas Bahagia

Semacam Pengantar

NAMANYA simpel dan sedikit narsis: Klinik Buku EA atau biasa disingkat KBEA. Tidak ada kerja besar dan gagasan hebat di sana. Semua tumbuh nyaris biasa begitu saja.

Bermula dari sesuatu yang sepele. Pada 2008 sebagai penulis, saya mulai kebanjiran menulis buku dari pelbagai lembaga maupun perorangan. Mulailah saya merekrut tim setiap kali punya proyek menulis. Dari manajer sampai transkriptor. Tugas saya menyempit dan lebih fokus: membuat konsep buku, presentasi, melakukan wawancara (jika dianggap penting), terjun ke lapangan (jika perlu riset lapangan) lalu menulis. Continue reading Dari Klinik Buku ke Komunitas Bahagia