
BEGITU tiba di kantor Komunitas Bahagia, Fahri Salam masuk ke ruang tengah dan menyapa lima peserta kelas menulis yang sudah datang. Selain memperkenalkan diri, dia menunjukkan letak toilet dan dapur, barangkali ada peserta yang mau bikin kopi sendiri. Fahri memperkenalkan para pegiat KBEA yang ada di kantor: Arlian Buana, penjaga gawang Mojok.co; Aditya Rizki, pria paling kalem yang keahliannya tentang bahasa kode melampaui bahasa percakapan; Eko Susanto, seorang responsif atas segala hal yang kamu butuhkan termasuk menyediakan brownies untuk sesi pembuka kelas menulis; Rifqi Muhammad, taipan media yang (akhirnya) menyandang Kagama; dan Wisnu Prasetya Utomo, anak muda yang kritis mencermati perkembangan media segesit dia membagi waktu saban bulan antara aktivitasnya di Yogyakarta dan Jakarta.
Setelah memindahkan gorengan ke dalam piring, meletakkannya di atas meja kayu panjang di ruangan tengah, tempat para peserta duduk di atas kursi yang mengitarinya, Fahri memulai sesi perkenalan kelas menulis yang berlangsung dari 16 Februari – 4 Maret 2015.
“Tantangan seorang penulis sekarang,” menurut Fahri, “salah satunya menyampaikan problem dunia yang makin kompleks ke dalam bahasa yang mudah dipahami.” Hari-hari ini adalah masa ketika terjadi apa yang dia sebut sebagai “inflasi pengamat.” Setiap hari kita melihat kutipan-kutipan para “pengamat” bertaburan di media cetak, online maupun televisi. Akhirnya yang tercipta adalah realitas psikologis yang diciptakan oleh para “pengamat” dan membuat pembaca diombang-ambing arus informasi. Continue reading Sesi Perkenalan Kelas Menulis: Tak Kenal Maka Ta’aruf