Kelas membincangkan sejumlah tugas menulis reportase; ditutup evaluasi.
HUSNA FARAH, peserta kelas menulis KBEA, membacakan narasi yang dia tulis tentang salah satu masalah sosial di tempat kelahirannya di Depok, Jawa Barat. Dia menulis dari sudut dunia kecil subyek, kisah keluarga miskin tapi memiliki 9 anak, sehingga pasangan itu kerepotan membesarkan salah satu anaknya. Kemudian si anak diserahkan kepada keluarga yang bersedia mengadopsinya yang merawatnya dengan baik—tiada membedakan antara anak kandung sendiri. Pasangan itu—dekat dengan kehidupan Farah–berjanji takkan memisahkan si anak dengan ibu kandungnya sendiri.
Konflik emosional muncul setelah si anak makin tahu latarbelakang keluarganya. Dalam jalinan pelik dunia orang dewasa, si anak mulai tidur di rumah orangtuanya, “sebuah wilayah perkumpulan pemulung di daerah Depok.” Dia akan bangun subuh hari, lalu pergi ke rumah orangtua angkat, pergi ke sebuah sekolah dasar, bermain hingga petang, dan malamnya kembali ke rumah ibunya.
Farah menulis, “Dia memang kurang tinggi dan sedikit bungkuk saat berjalan. Bila kenal orangtuanya, semua akan yakin secara fisik dia persis seperti bapaknya. Di rumah tempat dia beberapa tahun terakhir tumbuh dan berkembang, dia biasa mengumpulkan kardus bekas barang-barang belanjaan ibu angkatnya. Bukan untuk dijual ke pengumpul barang bekas, tetapi untuk dijadikan lintasan mobil-mobilan atau jadi tempatnya mencoba untuk menggoreskan mimpi dengan menggambar yang dia lihat selama dia hidup di sini. Setiap ada yang bertanya tentang cita-citanya, dia bilang, ‘Aku mau jadi arsitek.'”
Narasi Farah menyentuh emosi. Kolega pesertanya, saat dia membacakan, terdiam. Ada jeda bisu usai dia membaca. Panjang naskah 1.500 kata. Prayudha, peserta kelas, berpendapat naskah Farah “keren.”
Tetapi ada masalah. Bukan pada naskah itu melainkan faktor di luar naskah. Farah menulis tentang kisah kecil keluarga Ahmadi, minoritas keyakinan yang mengalami persekusi dan diskriminasi selama 15 tahun terakhir di Indonesia. Bila naskah ini dipublikasikan secara umum, bukankah justru akan menambah persepsi sekaligus mempertebal stigma buruk pada Ahmadiyah; dari Aceh hingga Lombok, dari Makassar hingga Jawa Barat, keluarga-keluarga muslim Ahmadiyah, terutama selama periode pemerintahan Yudhoyono, mengalami kekerasan fisik dan psikologis yang didulang melalui kebijakan negara yang melakukan dan membiarkan stigmatisasi dan siar kebencian.
Bila naskah ini muncul dari keluarga muslim Sunni misalnya—mayoritas di Indonesia—boleh jadi cerita itu bisa diterima dengan anggapan biasa, tanpa ada pikiran picik yang menghakimi latarbelakang keluarga itu dari keyakinan tertentu. Bagaimanapun, saya bilang, masalah sosial sebagaimana ditulis Farah adalah problem umum di semua komunitas. Kisah anak yang ditelantarkan oleh orangtuanya bukan hanya terjadi di sinetron, melainkan dekat dengan pengalaman kita tinggal di sebuah lingkungan sosial, bahkan kadangkala terjadi di lingkaran saudara kita sendiri.
Yang diperhitungkan pula soal advokasi. Kelak jika Farah, atau audiens kelas menulis bergiat dalam kegiatan kemanusiaan maupun lembaga yang mengadvokasi isu sosial dan sebagainya, merilis cerita seperti naskah Farah adalah juga menghitung dimensi baik-buruk bagi komunitas yang kita advokasi. Apakah dengan merilisnya, justru malah memicu komentar negatif, sehingga merugikan komunitas yang kita advokasi? Dalam dunia viral, komentar bernada negatif kini tak terhindarkan, dari satu klik ke klik lain, bahkan jika orang bersangkutan tak punya motivasi buruk; kadangkala justru respons yang muncul di luar perhitungan kita.
Brita Putri Utami dari Solider, yang bergiat di sebuah lembaga advokasi difabel, mengiyakan ketika saya bilang antara orang difabel pun terjadi kekerasan, begitupula dengan minoritas gender. Di kalangan buruh, kelas sosial yang diberitakan secara buruk oleh media-media di Jakarta, juga tentu ada kekerasan dalam kehidupan domestiknya. Kolega saya, Azhar Irfansyah menulis kisah satu serikat buruh di Tangerang berjudul “Romeo-Juliet Kelas Pekerja,” diterbitkan Pindai, yang mulai menyadari pendekatan keluarga dalam perjuangan serikat, karena pembatasan serikat–sesuatu yang dilarang oleh hukum—tak hanya datang dari pihak perusahaan, tapi muncul pula dari keluarga terdekat, dari pasangan hidup hingga pacar.
Di situ kadang saya merasa sedih muncul “dilema etik” seorang penulis. Ia boleh jadi berbeda dengan sudut pandang aktivis sosial ketika naskah macam itu diputuskan dipublikasikan untuk umum. Namun, ia juga perlu memikirkan etika dan sejumlah displin, termasuk salah satunya naskah itu terbit atas seizin subyek yang kita tulis. Ia perlu melakukan pendekatan yang serius. Azhar melakukannya.
Sekarang soal struktur. Farah memainkan alur maju-mundur, dalam narasi yang sangat pendek, karena dia “tahu persoalan” dari cerita itu. Persis seperti obrolan dalam diskusi kelas sebelumnya, semakin kita tahu detail dari cerita kita, semakin kita punya kemewahan memainkan alur. Ini juga satu poin dari naskah Farah. Sebelumnya dia hendak menulis cerita di sekitar lingkungan tempat dia kini tinggal sebagai mahasiswa; dia menyebutkan satu demi satu, tapi dia tak “tahu banyak” atau bahan ceritanya kurang. Akhirnya dia menulis kisah yang dekat dengan kehidupan masa remaja dia di Depok.
Hamada Adzani Mahaswara menulis sebuah warung gudeg lesehan milik “Bu Tinah” yang sudah berjualan selama 22 tahun, terletak di dekat Tugu. Ada banyak warung gudeg di Yogya, tulis Mada, tapi warung gudeg ini punya ciri khas yang tebal: ia menawarkan sensasi pedas karena “menambahkan sambal mercon.” Lewat pengalaman lidah kulinernya, dekat dengan rasa pedas sebagai orang Sunda, Mada menyukai gudeg ini; dia datang ke sana lebih dari sekali untuk kepentingan menulis, mewawancarai penjual dan pembeli. Dia melihat sejumlah pembeli dari beragam penampilan, ada yang mengenakan celana pendek ketat hingga mengendarai mobil mewah. Ia telah diliput oleh media cetak maupun acara kuliner televisi. “Rasanya enak membakar lidah,” tulis Mada mengutip seorang pembeli.
Rosy berkomentar, Mada kurang menggambarkan “rasa pedas”. Mendeskripsikan rasa adalah soal kemampuan kita memainkan metafora. Metafora, dalam menulis, dipakai sebagai perkakas mendekatkan pengalaman bersama. Menarik, kata saya, bila Mada mau menulis lebih dalam lagi dengan mengeksplorasi gudeg di Yogyakarta, dengan pendekatan yang unik, misalnya, ada banyak warung gudeg di Yogya, tapi mengapa hanya sebagian yang terkenal?
Cara pandang yang unik adalah salah satu pendekatan atas peristiwa atau pengalaman sehari-hari. Ini adalah sesi sebelumnya yang saya dan Wisnu membahasnya. Misalnya, didorong oleh rasa penasaran, sampai sekarang saya belum pernah membaca pers mahasiswa menulis kisah seorang mahasiswa baru yang menginjak kuliah pertama? Bagaimana dia menjalani hari-harinya, apa kesukaan dia, apa yang dia obrolkan bersama teman-teman barunya, di mana dia makan, apa gajet yang dia pakai, untuk apa saja uang yang dikirim orangtuanya setiap bulan, apa yang ingin dia dapatkan selama kuliah dan menetap sekolah di Yogya, apa makanan favoritnya, bacaan kesukaannya, mengapa dia kuliah, apa cita-citanya? Pertanyaan itu bisa pula dirangkai dengan narasi dari seorang mahasiswa yang baru lulus: kesan dia kali pertama di Yogya, apa yang dia jalani, lalu sandingkan, apa rencana dia setelah lulus?
Saya menyukai Susan Orlean—dua buku nonfiksinya telah diterjemahkan di sini, salah satu artikelnya, terbit 1993, menulis dengan kocak seorang anak SMA dari lingkungan Bronx, memasuki alam pikir remaja tanggung Amerika Serikat. Mengapa tak banyak kisah nonfiksi semacam ini di sini? Ia bukan cerita besar, tapi ia boleh jadi mengungkap dunia sosial di baliknya? Itu adalah CERITA. Seorang kenalan pengajar di Universitas Gadjah Mungkur, misalnya, satu kali bilang kepada saya dia merasa “kesulitan” mengajar dengan “mahasiswa-mahasiswa” sekarang. Ada jurang (pengetahuan) yang lebar antara keduanya. Apa yang dia anggap penting misalnya topik 1965, oleh mahasiswa kini sama pentingnya dengan membahas JKT48. Sewaktu saya menulis tentang penyair Joko Pinurbo, yang pernah mengajar di Sanata Dharma, dia mengeluhkan mahasiswa belakangan yang membuat dia akhirnya berhenti jadi dosen. ”Saya lelah, karena saya harus banyak bicara sekarang. Kalau dulu itu saya bisa berpikir bersama mahasiswa, sekarang sudah enggak bisa lagi,” ujar Pinurbo.
Mada tertarik untuk membuat naskah lebih panjang dan mendalam tentang kuliner gudeg, bukan dari makanannya sebagai hal utama, tapi dari pertautan sejumlah warung gudeg dan interaksinya dengan pembeli, sehingga ia melahirkan laku memori yang dibawa si pembeli ketika dia sudah pergi jauh dari Yogya. Ketika Yogya tidak bisa lagi dibaca lewat karangan Selo Soemardjan, misalnya, orang-orang yang dulu (pernah) di Yogya ketika datang lagi ke sini, dia melihat lanskap emosi yang berjarak antara Yogya yang dulu dia bawa dalam ingatan dan perubahan sosial Yogya mutakhir, dan boleh jadi salah satu yang membuat dia merasa berpijak adalah warung gudeg tempat dia dulu sering makan di sana. Struktur emosi bisa berlapis bila warung gudeg langganan dia tergusur, atau tak ditengarai lagi di tempat lamanya. Satu cerita yang bagus tentang ingatan dan sebuah tempat, selain Orhan Pamuk dalam Istanbul, adalah Giuseppe Tornatore lewat filemnya Cinema Paradiso.
Rosy Dewi Arianti Saptoyo menulis tentang seorang pemulung di lingkungan hunian mewah bagi para mahasiswa di daerah Pogung, Jalan Kaliurang Km 5. Strukturnya dibikin pembabakan waktu; narasi pendek 800 kata dimulai dari pukul 04:30 sampai 06:30. Dia mengikuti si pemulung, dari satu rumah ke rumah lain. Pendekatannya, Rosy menawari barang-barang bekas di kost tempat dia menginap selama kelas (Rosy dari Jember), lalu dia bilang ke pemulung bahwa di tempatnya ada barang rongsokan. Dari sana dia minta izin untuk mengikutinya dan mewawancarai selagi pemulung bekerja.
“Untuk mengetahui penghuni macam apa yang tinggal di sebuah kost eksklusif, dapat dilihat dari jenis rongsokan yang ada di kost tersebut,” tulis Rosy. “‘Kalau botol-botol anggur ini biasanya orang luar negeri, Mbak,’” Rosy mengutip ucapan Rami, si pemulung itu.
Petikan dialog dalam naskah Rosy:
“Kalau dulu gelas plastik sekilo sepuluh ribu, sekarang paling cuma tiga ribu. Turun semua! Botol (kaca) paling satu 50.”
“50 apa, Bu?”
“Ya 50 rupiah. Padahal dulu harganya pernah sampai tiga ribu.”
“Kalau kertas?”
“Kertas, kalau kemarin (40 kg) saya dapat 50 ribu.”
“Ibu tahu, kenapa kok bisa turun?”
“Ya enggak. Saya tahunya disana (pengepul) ngasih harga segitu.”
Rosy menulis naskah yang tertata dengan baik.
Kekurangannya, kolega peserta berkata, dia lupa mencantumkan berapa penghasilan pemulung itu dalam sehari, jika memang perlu. Bila naskah ini dibikin serius lagi, mungkin juga perlu konteks bahwa kota ini, Yogya, mulai dipadati dengan rumah-rumah hunian eksklusif bagi para mahasiswa, yang cirinya bisa dikenali dengan menyediakan lahan parkir mobil.
Wisnu Prasetya berkata, apartemen dan hotel memenuhi permukiman di Yogya. Dalam salah satu promosinya untuk sebuah apartemen bagi mahasiswa, dipasang dalam bentuk papan iklan di salah satu perempatan jalan yang ramai, tertulis bahwa sekarang bukan eranya lagi mahasiswa ngekost; ada apartemen buat mereka. Tingkat pembangunan hotel dan hunian besar lain di Yogya yang tinggi, dalam salah satu kasus, menyebabkan krisis air bagi permukiman di dekatnya. Para pegiat dari pelbagai komunitas mengampanyekan persoalan urban ini dengan slogan “Jogja Ora Didol” dan “Jogja Asat.”
Peserta kelas yang membagi cerita yang ditulisnya adalah Ayu Tika Pravindias; dia menulis seorang desainer grafis yang punya semangat filantropi. Salah satu rumahnya di satu kecamatan di Sleman sengaja dipakai untuk tempat tinggal mahasiswa miskin. Ada empat mahasiswa baru dan seorang karyawannya tinggal di situ. Dia mencontoh almarhum ibunya di Magetan yang menyediakan rumahnya untuk mereka yang tengah sekolah; sampai sekarang. Dia ingin anak-anak muda ini belajar giat tanpa melupakan sisi sosial.
Prayudha, yang naskahnya sudah lama dikirim ke saya, menulis kisah seorang perempuan tahanan politik 1965 terkait Gerakan Wanita Indonesia. Ada banyak kisah tentang 65, dan setiap individu memiliki kisah personal dan pengalaman yang berbeda-beda. Ini juga tentang dunia kecil subyek namun memiliki konteks yang besar sekali. Tantangan Prayudha adalah menempatkan konteks itu ke dalam cerita personal si penyintas sehingga pembaca, selain mendapatkan pemahaman utuh, ikut menyelami kecamuk psikologis kisah hidup penyintas.
“Lintasan sejarah bisa sama,” kata saya. “Tapi jalan hidup seseorang bisa beda. Begitu pula kisah penyintas. Barangkali yang sama adalah metode kekejaman dari alat negara itu, tapi sakitnya bisa lama dan panjang.”
KELAS ini, setelah berjalan 9 sesi, ditutup dengan evaluasi sesudah peserta membicarakan tugas menulisnya selama 2,5 jam.
Nia Aprilianingsih berkomentar, kelas ini berguna selain untuk dirinya juga untuk tugasnya sebagai editor menyelesaikan majalah dari pers kampus dia.
Rosy semula menduga kelas ini akan banyak bicara hal-hal besar. Tetapi ternyata kita bisa menulis dari sudut pandang kecil tapi unik, menurutnya. Ini satu hal yang dia pelajari dalam kelas.
Mada mengevaluasi soal bacaan. Kenapa banyak dari luar? Kenapa sedikit dari penulis di Indonesia?
Saya tentu bertanggungjawab atas bacaan dari sesi reportase, yang memang lebih banyak dari karya-karya nonfiksi dari bahasa Inggris. Ini masukan bagus, saya perlu pertimbangkan naskah nonfiksi dari penulis Indonesia.
Ada juga metode yang perlu diperbaiki. Bacaan mesti dibagi lebih dulu jauh hari sebelum peserta mulai belajar. Perlu rentang cukup waktu setelah pengumuman lolos seleksi dan dimulai kelas. Agar ada jeda bagi mereka menyerap bacaan.
Semua peserta juga mengusulkan waktu yang pendek, dengan sesi yang padat, mestinya bisa ditimbang ulang bila ada kelas yang sama di lain waktu.
Saya bilang, sesi ini adalah versi singkat dari sesi yang biasanya diajarkan. Ada sesi yang akhirnya diabaikan, dan rupanya—menurut penilaian saya—mestinya perlu dimasukkan. Sesi itu misalnya sesi deskripsi dan sesi belajar struktur dari cukup satu naskah saja. Ini biar mendapatkan fokus.
Saya dan Wisnu, boleh jadi bila ada kelas menulis serupa dari KBEA, akan mengadakan kelas ini pada saat mahasiswa libur kuliah, jika sasaran peserta adalah mahasiswa.
Wisnu bercerita, kali pertama ini dia terlibat dalam sebuah kelas yang berjalan rutin; biasanya dia diminta mengisi satu acara penulisan cukup satu materi. Tapi, dari kelas ini, dia bekerja sejak menyusun silabus, diskusi di kelas dalam sejumlah sesi, dan berakhir pada sesi hari ini. Kebiasaan dia yang serius rupanya terbawa juga dalam kelas. Ini diakuinya pada sesi pertama. Berikutnya dia mulai rileks. Dia minta “maklum” bila ada rasa canggung.
Saya juga berkata “maklum” bila ada ucapan-ucapan saya yang melantur, seringpula berkata ngawur.
Sesi terakhir usai menjelang pukul 19:00 persis ketika semua pegiat KBEA, kecuali Kak-Banah-Idolah-Kami yang cedera kaki, bersiap-siap menuju lapangan futsal; mengamini bahagia yang bisa datang cukup dengan berolahraga yang tak bisa dipahami Arman Dhani.
Kami juga bahagia terlebih saat melihat Mz Nody pulih dari sakit berhari-hari diterjang kangen akut pada pacar-pacarnya, ketika bertemu Kak Adit yang baru lulus dari pendadaran esdua, sewaktu menyaksikan (demi Tuhan maha luhur!) Pak Bilven Gultom, sebagai pengusung peradaban markisma-jomblo-permanen, diwawancarai oleh mbak-mbak peserta kelas menulis saat kami meninggalkannya. Dieqy, anak muda yang datang dari Jember, masih tetap pendiam selama dua pekan di KBEA.
Itu tandanya dunia masih baik-baik saja.
*
Ditulis Fahri Salam