logo kbea

Sesi Perkenalan Kelas Menulis: Tak Kenal Maka Ta’aruf

Eko Susanto/ KBEA
Eko Susanto/ KBEA

BEGITU tiba di kantor Komunitas Bahagia, Fahri Salam masuk ke ruang tengah dan menyapa lima peserta kelas menulis yang sudah datang. Selain memperkenalkan diri, dia menunjukkan letak toilet dan dapur, barangkali ada peserta yang mau bikin kopi sendiri. Fahri memperkenalkan para pegiat KBEA yang ada di kantor: Arlian Buana, penjaga gawang Mojok.co; Aditya Rizki, pria paling kalem yang keahliannya tentang bahasa kode melampaui bahasa percakapan; Eko Susanto, seorang responsif atas segala hal yang kamu butuhkan termasuk menyediakan brownies untuk sesi pembuka kelas menulis; Rifqi Muhammad, taipan media yang (akhirnya) menyandang Kagama; dan Wisnu Prasetya Utomo, anak muda yang kritis mencermati perkembangan media segesit dia membagi waktu saban bulan antara aktivitasnya di Yogyakarta dan Jakarta.

Setelah memindahkan gorengan ke dalam piring, meletakkannya di atas meja kayu panjang di ruangan tengah, tempat para peserta duduk di atas kursi yang mengitarinya, Fahri memulai sesi perkenalan kelas menulis yang berlangsung dari 16 Februari – 4 Maret 2015.

“Tantangan seorang penulis sekarang,” menurut Fahri, “salah satunya menyampaikan problem dunia yang makin kompleks ke dalam bahasa yang mudah dipahami.” Hari-hari ini adalah masa ketika terjadi apa yang dia sebut sebagai “inflasi pengamat.” Setiap hari kita melihat kutipan-kutipan para “pengamat” bertaburan di media cetak, online maupun televisi. Akhirnya yang tercipta adalah realitas psikologis yang diciptakan oleh para “pengamat” dan membuat pembaca diombang-ambing arus informasi.

Fahri menyebut nama seorang penulis, Malcolm Gladwell, wartawan Kanada yang menulis untuk The New Yorker. Gladwell mampu menggabungkan reportase dengan analisis yang baik. Dia melakukan reportase serius dengan menjawab pertanyaan sederhana, jenis rasa penasaran yang barangkali tak semua orang bisa pikirkan. Salah satunya: kenapa semua saus tomat rasanya sama?  

Fahri juga menyinggung nama-nama penulis lain termasuk Haroon Akram-Lodhi, profesor dari Trent University, Kanada, yang fokus pada kajian ekonomi-politik agraria. Karya-karyanya, termasuk Hungry for Change, menjelaskan dengan baik, ditopang sumber bacaan berlimpah, antara kehidupan sehari-hari umat manusia dan konteks besar soal pangan.

Belajar dari apa yang dilakukan para penulis seperti Gladwell dan Akram-Lodhi, kelas menulis ini dirancang dengan menggabungkan dua hal: reportase dan riset atau analisis. Ini dua spesialis yang sering dipandang saling bertolak-belakang, yang semestinya, dalam contoh-contoh karya yang baik, mampu menggabungkan keduanya. Penulis nonfiksi, bahkan fiksi, harus diperkaya dengan bacaan sekaligus kemampuannya menyampaikan gagasan itu ke dalam naskah  yang ramah dibaca.

Jadi, tekanan kelas ini, selain belajar perkakas menulis, juga mendiskusikan ihwal perspektif. Dua senyawa itu yang menjadi tulangpunggung di balik kelahiran Pindai.org. Fahri mengurus konten reportase. Sementara Wisnu pada naskah analisis (media). Kelas ini, dalam sesi yang lebih ringkas, memiliki tujuan bahwa karya reportase sedapat mungkin punya kedalaman perspektif; begitupula naskah analisis bisa disampaikan dengan menyelipkan metode reportase. Kelas ini, pendeknya, hendak mengelaborasi salah satu elemen dasar jurnalisme yang digagas Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam bukunya (April 2001) bahwa jurnalisme harus memikat sekaligus relevan.

Eko Susanto/ KBEA
Eko Susanto/ KBEA

Ada 9 peserta yang diseleksi mengikuti kelas ini. Latar belakangnya beragam, dari pers mahasiswa, pusat studi, organisasi yang bergerak dalam isu difabel. Ada yang sudah bekerja, mahasiswa tingkat pertama, dan mahasiswa tingkat akhir yang berkutat dengan skripsi. Delapan peserta dari Yogyakarta, satu peserta dari Jember, Jawa Timur. Mereka diharapkan bisa menulis sebuah tulisan reportase dan analisis selama diskusi kelas, sesi demi sesi. Ada pula satu anak muda dari Jember, Dieqy Hasbi Widhana, yang datang untuk menyimak dinamika kelas.

Husna Farah, mahasiswa tingkat pertama Fakultas Kedokteran Gigi. Jemaat Ahmadiyah yang juga aktif di Humanity First ini ingin belajar lebih jauh tentang perkakas penulisan dan jurnalisme. Farah mengatakan sudah lama menyukai dunia tulis-menulis dan memiliki blog pribadi. Dia berharap bisa belajar dan berbagi pengalaman dengan peserta lain.

Nia Aprilianingsih, pegiat pers mahasiswa Ekspresi UNY. Saat ini merupakan mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia dan bercita-cita menjadi seorang guru. Dia ingin memiliki murid yang aktif membaca dan menulis.

Rosy Dewi Arianti Saptoyo, pegiat Ideas, pers mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Jember.  “Saya bercita-cita menjadi penulis atau editor,” kata Rosy. Pernah ikut pelatihan menulis Sejuk dan sekolah HAM Kontras.

Nadliful Hakim, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga dari Lamongan. Sesuai aktivitasnya saat ini, Hakim bercita-cita menjadi aktivis sosial. Dia tidak pernah secara khusus belajar menulis. Karena itu dia ingin mendalami dunia tulis-menulis.

Prayudha, peneliti di pusat studi HAM UII. Menurutnya, seorang peneliti hanya memperumit dunia dengan karya-karyanya yang susah dipahami. Kalau karya ilmiah susah dibaca dan dipahami, lalu buat apa ia ada? Selama terlibat dalam proyek penelitian di PUSHAM, ia bersentuhan dengan banyak pesantren yang dicap “radikal.” Salah satu yang menurutnya menarik sebuah pesantren di penjara Nusa Kambangan.

Brita Putri Utami, bergiat di Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) yang mengurusi Solider, kantor berita difabel Indonesia. Dia mahasiswa hubungan internasional UGM, ingin belajar menulis reportase karena selama kuliah hanya mendapat cara/ metode menulis lewat studi pustaka tapi minim reportase. Brita tengah menuntaskan skripsi, dan bolak-balik Yogya-Solo setiap hari.

Ayu Tika Pravindias, mahasiswa semester dua fakultas Hukum UGM, pegiat pers mahasiswa Mahkamah. Ayi, panggilan akrabnya, sempat kebingungan karena di pers mahasiswa yang dia ikuti, dia belum mendapatkan banyak materi tapi harus langsung membuat buletin. Ayi bercita-cita menjadi dosen dan pakar anti-korupsi.

Hamada Adzani Mahaswara, mahasiswi Sosiologi UGM, editor pers mahasiswa Bulaksumur dan bergiat pula di Yousure Fisipol UGM.  “Saya ikut kelas ini ingin cari gebetan dan ta’aruf,” Mada bercanda. Dia ingin mendapat banyak saran dan masukan untuk menambah kepekaannya dalam menulis. Sebelum meyakinkan diri mengikuti kelas ini, dia sempat bertanya kepada Nody Arizona karena khawatir kelas ini tak sesuai ekspektasinya. Mada sedang senang-senangnya, di antara kesenangan lain, bicara tentang kelas menengah dari kacamata pop culture dan teori-teori cultural studies.

Moh. Taufiqul Hakim, bergiat di pers mahasiswa Balairung UGM. Alumni pesantren yang belajar tentang Sastra Jawa ini mengatakan kesulitan membahasakan gagasan atau ide-ide segar dalam satu tulisan yang mudah dipahami. Dia ingin membuat tulisan sederhana namun substansial.

Usai sesi perkenalan, Fahri memberikan sedikit pengantar tentang prinsip dasar jurnalisme. Dia membahas tentang disiplin verifikasi yang mesti dilakukan seorang wartawan dan bercerita tentang pengalamannya meliput kebebasan beragama yang dialami muslim Ahmadiyah dan kebebasan politik di Papua. Ketika Fahri sedang menjelaskan, hujan semakin deras dan listrik mati. Diskusi dilanjutkan dalam kegelapan.

“Apakah seorang penulis tidak boleh sama sekali mengutip pengamat?” tanya Brita. Fahri menjawab dengan penjelasan historis, menceritakan tentang asal mula media menyematkan “pengamat.” Dalam era ketika setiap wartawan atau penulis bisa begitu mudah mendapatkan data, kutipan pengamat menjadi tidak terlalu relevan. Kecuali memang bagi isu-isu yang sensitif dan tidak semua bisa mengaksesnya. Misalnya saja kekerasan negara di Papua, satu-satunya daerah di Indonesia yang sampai saat ini melarang akses wartawan internasional meliput ke sana.

Yudha menceritakan kegelisahannya. Dia sedang menulis tentang seorang anggota Gerwani yang menurut analisisnya dihancurkan oleh institusi negara dan agama. “Apakah dalam tulisan boleh saya berposisi subyektif dengan membela anggota Gerwani tersebut?” Dia mengutip tesis Ben Anderson tentang institusi agama di Indoensia yang jarang diungkap perannya dalam kekerasan negara pada 1965-1966 itu.

Fahri menanggapi, selama metode yang digunakan si penulis bisa diukur verifikasinya, penulis bisa menyampaikan pandangannya. Tak ada penulis, atau seorang yang berpendapat, dengan mengatakan dirinya netral. Apalagi era internet membuat saluran yang makin mudah kita bicara. Tentang apapun. Menjadikan diri kita sebagai “pundit” atau komentator. Namun selalu ada sedikit dari kerumunan komentator itu yang punya “author” alias otoritas, yang datang berkat kredibilitasnya. Kredibilitas ini, menurut Fahri, salah satunya bisa diukur dari kedalaman bacaan atau riset ia dalami.

Wisnu bicara tentang perspektif. Verifikasi tak cukup bisa menjelaskan tentang bias penulis. Misalnya, media doyan banget memberitakan lewat pembingkaian yang menyosokkan perempuan dengan atribusi “cantik.” Pramugari cantik, polisi cantik, bahkan tukang jamu cantik. Penulisnya memang benar, dalam metodenya, mewawancarai pramugari, polisi, dan tukang jamu. Mereka lantas disosokkan sebagai “cantik” dan menjadi tekanan dalam “nilai berita.” Benar dalam (metode) berita, kata Wisnu, tapi lemah dari segi perspektif.

Berita macam itu mendorong stigma/ pelabelan yang makin menjauhkan pembaca dari realitas sosiologis. Ini berlaku dalam hal-hal lain, terutama di Indonesia, untuk isu etnis, agama, dan sebagainya. Kita bisa dan boleh memakai atribus “cantik” atau satu etnis dengan menyebutkannya kulit “hitam” selama tepat dan proporsional meletakkannya, menurut Wisnu. Di Yogya, misalnya, pemberitaan belakangan yang mendorong bias paling kentara soal isu etnis, terutama setelah kasus Cebongan.

Farah menceritakan pengalamannya mengelola newsroom portal komunitasnya, dan ia pernah ditegur karena tidak cukup melakukan verifikasi saat memuat artikel tentang banjir di Jakarta—juga dominan di media lain—yang sering latah pada ungkapan klise “banjir setinggi betis orang dewasa.”

Wisnu dan Fahri menanggapi, “ukuran betis orang dewasa itu siapa?” Paling mudah memakai ukuran yang jadi konvensi umum, misalnya hitungan meter. Tapi, hal lebih substansial, tentu saja penulisnya tak bisa hanya mengandalkan kutipan, bila tak di lapangan misalnya, harus bertanya lebih detail lagi.

Mada: “Apakah kita harus menyimpulkan tulisan. Atau kita hanya memaparkan data-data dan biarkan pembaca yang menyimpulkan?”

Itu terkait pada relevansinya dalam tulisan yang kita paparkan sebelumnya, menurut Wisnu. Bila butuh kesimpulan, bisa kita pakai. Bila tidak, ya tidak perlu. Wisnu juga menekankan bahwa tulisan yang baik adalah jenis yang “show it”, bukan “tell it.”

Eko Susanto/ KBEA
Eko Susanto/ KBEA

Selama menerangkan silabus yang akan dipakai untuk kelas ini, Fahri meminta peserta untuk memberi usulan dan pertimbangan. Karena tekanan kelas ini pada latihan dan diskusi, serta sedikit mungkin menjelaskan teori—yang bisa didapatkan dengan membaca—akhirnya dibuat sedikit perubahan dalam silabus.

Sesi selama kelas dirancang 9 pertemuan termasuk sesi perkenalan. Semua peserta sepakat—sejauh ini—pertemuan dibikin dua hari sekali. Sesi berikutnya tetap dimulai pukul 15:00-17:00.

Silabus Kelas Menulis KBEA:

Hari II | Rabu 18 Feb:  Diskusi karya peserta – Bersama (Fahri & Wisnu) | Diskusi tentang karya peserta yang dikirim menjadi syarat seleksi. Pertemuan ini bertujuan mengidentifikasi hambatan-hambatan kita dalam menulis. Dengan begitu kita bisa menganalisis tulisan karya sendiri, menilai kelebihan atau kekurangannya, serta belajar mengeksplorasi pelbagai jenis tulisan.

Hari III | Jumat 20 Feb:  Jurnalisme naratif (Fahri) | Diskusi tentang struktur tulisan lewat naskah-naskah narrative journalism. Mengulas sejarah pemikiran soal apa yang disebut sebagai “new journalism” sejak dikenalkan pada 1960-an dalam jurnalisme di Amerika Serikat. Perkembangan dan perdebatan tentang genre ini, dan perkakasnya dipakai dalam naskah-naskah reportase, hingga era digital mengembangkannya dalam istilah yang disematkan padanya sebagai #longform. Bacaan: Jurnal Nieman Reports edisi Spring 2002 Volume 56 No.1 tentang narrative journalism.

Hari IV | Minggu 22 Feb: Riset arsip (Wisnu) | Era media sosial telah melahirkan banyak penulis yang bisa menganalisis pelbagai topik sekaligus namun minim data. Pertemuan ini bertujuan menjelaskan bagaimana menggunakan data atau memanfaatkan arsip untuk mendukung sebuah tulisan analisis, selain membahas tentang strategi “membunyikan” data-data dari arsip yang dimiliki. (Tugas: peserta menganalisis dan memberikan perspektif atas data dengan materi yang akan diberikan pengampu, dibahas di pertemuan ke-7)

Hari V | Selasa 24 Feb: Diskusi karya reportase (Fahri) | Diskusi karya analisis dan reportase. Membahas sejumlah kekurangan dan kelebihan dari sejumlah contoh karya, belajar perkakasnya, dan mengambil kekuatan dari sebuah tulisan. Tujuannya peserta bisa mulai mempraktikkan pelbagai pendekatan dan perkakas dalam menulis nonfiksi yang menarik sekaligus relevan. Bacaan: Sejumlah naskah reportase di Pindai (http://pindai.org/) dan situsweb lain macam media kurasi #longform (lihat: http://longform.org/). (Tugas: peserta melakukan reportase ringan. Cari yang dianggap menarik atau sesuai minat, bisa tentang sebuah isu, bisa catatan perjalanan atau tentang seseorang (profil), bisa pula hanya sebatas deskripsi tentang seseorang atau ruangan (atau gabungan keduanya). Panjang naskah sekira 800-1.000 kata; dibahas saat pertemuan ke-9)

Hari VI | Kamis 26 Feb: Diskusi bersama Puthut EA | Terampil menulis fiksi, dan telah menerbitkan setidaknya enam buku kumpulan cerita pendek, Puthut EA kerap memakai pendekatan fiksi untuk menulis sebuah laporan nonfiksi, baik riset lapangan maupun buku penelitian. Strategi menggunakan sejumlah perkakas penulisan fiksi ke dalam penulisan nonfiksi ini dapat menghadirkan diskusi yang relevan untuk kelas ini. Tantangan penulis sekarang, salah satunya, menghadirkan bacaan yang ramah dan mudah dipahami tentang persoalan yang kompleks sekaligus membangun konteks relevan. Ia tentu membutuhkan keterampilan dan juga perspektif. Antologi prosa nonfiksi Puthut EA telah dibukukan dalam Mengantar dari Luar (EA Books, 2014).

Hari VII | Sabtu 28 Feb: Bahas tugas riset arsip (Wisnu) | Diskusi tentang tugas riset arsip. Masing-masing mempresentasikan tugas yang diberikan, saling menanggapi dan mengidentifikasi kelebihan atau kekurangan tulisan peserta. Bila cukup waktu, diskusi memperdalam lagi naskah riset atau analisis.

Hari VIII | Senin 2 Maret: Diskusi Karya (Fahri) | Diskusi lagi struktur naskah panjang lewat karya Malcolm Gladwell. Dia memadukan antara esai dan reportase dengan literatur beragam, dari psikologi hingga sosiologi, dari sains hingga beragam ilmu manajemen dalam bisnis. Dia mengubah cara pandang orang tentang berpikir dan bertindak. Tulisannya provokatif.  Sesi ini bertujuan mampu menggabungkan cara menulis yang analisis dengan pendekatan reportase, selain belajar tentang struktur menulis panjang. Bacaan: “What The Dog Saw” (sudah diterjemahkan), buku keempat Gladwell, berisi kumpulan artikelnya di The New Yorker. Sila baca-baca dari jurnal pribadi Gladwell: http://www.gladwell.com/index.html.

 Hari IX | Rabu 4 Maret: Bahas tugas reportase (Fahri) | Bahas tugas penulisan reportase; masing-masing mempresentasikan tugas, menanggapi dan memberi kritik. Sesudahnya sesi penutupan dengan saling berbagi kesan, kritik dan saran, antara peserta dan kedua pengajar. Mengukur ekspektasi peserta dan proses pembelajaran selama kelas.  Apa yang bisa dilakukan sesudah kelas selesai, mungkin ada yang mengembangkan proyek penulisan pribadi, dll.

 

Bacaan Pengiring:

“Sembilan Elemen Jurnalisme” tentang prinsip dasar jurnalisme oleh Andreas Harsono (resensi buku Bill Kovach dan Tom Rosenstiel): http://www.andreasharsono.net/2001/12/sembilan-elemen-jurnalisme.html

“Tiga Hari Bersama Gabo” – Silvana Paternostro, terjemahan Ronny Agustinus dalam blog yang dia kelola khusus untuk sastra Amerika Latin (http://sastraalibi.blogspot.com/2010/10/tiga-hari-bersama-gabo-1.html http://sastraalibi.blogspot.com/2010/10/tiga-hari-bersama-gabo-2.html)

*

Ditulis oleh Wisnu Prasetya Utomo dan Fahri Salam, moderator kelas menulis KBEA.

Share, ya!

Facebook
Twitter
WhatsApp

Komunitas Bahagia EA