logo kbea

Kode, Karakter, Evaluasi

Disclosure: kami takkan banyak mengulas tentang diskusi kelas hari ketiga (mempelajarai karakter situsweb) dan hari keempat (teknik mengoptimalkan mesin pencari/ SEO). Narasi ini dibuat (dengan sengaja) untuk Adit semata, pengajar Kelas Digital dari dua pengajar lain yang sudah kami tulis sebelumnya. Detail materi kelas, bagi yang tertarik, bisa ditengok di sini.
KBEA/ Eko Susanto

ADITYA Rizki Yudiantika, anak muda yang paling kalem di Komunitas Bahagia, datang 30 menit sebelum kelas digital hari ketiga dimulai. Dari caranya dia menyapa, kita segera mengenali sesuatu yang melekat pada dirinya. Dari 99 asma Allah, dan karakter khas manusia pada 7 milyar penduduk di dunia, Adit memiliki senyum yang melimpah-limpah segampang makhluk bumi menggandakan diri. Dia selalu melempar senyum saat kali pertama kita menyapanya, dan senyum itu selalu dia bawa sepanjang kita mengobrol dengannya. Inilah ciri pembeda antara senyum Adit dan senyum Rifqi, sesama kolega di Komunitas Bahagia dengan julukan “taipan media” dari rekan kriminal lawasnya, yang senyum itu oleh Rifqi difungsikan untuk menjerat hati perempuan. Adit kasus lain sekaligus unik.

Jika kini artikel-artikel di media sosial yang mendatangkan pageview dalam bentuk panduan atau tips, hasil termudah dari imajinasi manusia tak terhingga dari warisan Newton yang gemilang, maka khusus untuk Adit, perkaranya ada pada momentum dan ironi.

Dia mencintai Liverpool tapi seluruh penduduk bumi juga tahu klub itu tak menggondoli juara Liga Inggris hampir seperempat abad. Dan Adit, sebagaimana fans yang keras kepala, selalu menunjukkan perasaan cinta itu dengan kostum Liverpool yang selalu dia pakai saat Komunitas Bahagia menggelar permainan(-mainan) futsal secara rutin. Dia menyukai Noah, sebuah band yang semua umat FPI tahu kalau vokalisnya lihai memainkan pesona. Para umat Mojok tahu bahwa Adit yang berada di balik pembuatan situsweb itu dan dia orang yang bisa merasakan bagaimana perkara jomblo—yang sering jadi lelucon—sebetulnya tak sengenes tafsirannya. Itu tak perlu survei Badan Pusat Statistik, sebetulnya, bila kita sudah cukup bercermin pada diri Adit.

Benar kata Pram, jomblo itu sungguh sangat sederhana (dan) yang hebat-hebat hanya tafsirannya. Atau Tolstoy pernah bersabda: Tuhan maha tahu (termasuk untuk perkara seseorang punya pasangan), tapi Adit menunggu.

Yang ditunggu, dalam kasus Adit, adalah orang-orang yang mendatangi kanal-kanal media yang dia bikin, atau dalam istilah Rifqi di kelas sebelumnya adalah “para kerumunan.” Bila Anda punya waktu selo seperti kami, mudah saja mengenali Adit dengan memanfaatkan mesin pencari. Dia memiliki web pribadi. Di seluruh kanal medsos termasuk Youtube dia pun punya. Di jalur-jalur profesional yang membuat seseorang di Lembah Silikon tahu tentangnya, Adit juga punya. Dia, misalnya, telah membagikan tujuh publikasi yang diunduh lebih dari 6.000 pengakses.

Hal terakhir, dari pengakuan Nody Arizona terhadap “Kak Adit,” memang anak muda ini tak pelit membagi ilmunya. Dan bukan itu saja, tambahan lain, dengan penjelasan sederhana.

Adit mengibaratkan dirinya sebagai “tukang ketik kode”—dan memang begitulah yang dia lakoni. Dunia kode di balik bahasa program—seuntai puisi—bisa dia sentuh dengan intens, dan dalam dua-tiga hari sebuah situsweb pun lahir. Satu pekerjaan yang bagi dia segampang menanam mimpi dari ritme kerja di Komunitas Bahagia yang membutuhkan kecepatan dan disiplin ketat; sebuah prinsip Musashi.

Kode, dalam pengertian lain dan mengandung segi peyoratif, adalah bahasa yang tak tampak, gundukan terpendam sebagaimana sebuah gunung yang kelihatan puncaknya—dalam arti itu, ia juga adalah prinsip menulis Hemingway. Maka, bila kita baru kali pertama mengenalnya, apa yang diterangkan atau ditulis oleh Adit terdengar atau terbaca sebagai segala yang jelas sejelas kita memandang langit. Namun, jika kita sudah cukup mengenalnya, sesungguhnya dia tengah memainkan bahasa sampiran. Dalam postingan terbaru tentang film (apalagi kalau bukan menyangkut IT), dia menulis “manusia bisa bekerja dengan perasaan, tetapi mesin tidak” sebagai salah satu yang dia tonjolkan dari pelajaran moral film tersebut. Dia juga mengakui bahwa dia “kepincut” akting seorang akrtis Britania—sesuatu yang tak mudah bagi kami mencapainya—dan bisa ditebak, atau kami ingin menebak-nebak—soal Tipe Ideal Pacar Adit.

Ketika seorang mega-seleb-Facebook, Mz Iqbal Idolah Kami, yang setiap postingannya selalu mendatangkan banjir jempol bahkan jika itu sekadar (apalagi) foto dirinya—datang ke kantor Komunitas Bahagia pada petang hari esoknya, dan Adit menghampiri untuk menyalaminya, Mz Iqbal Idolah Kami tak segan mengakui, “OOH.. ini toh Adit yang terkenal itu yang namanya sering disebut-sebut itu!” Bahkan, seorang yang studi di Oztrali yang lagaknya menyaru sebagai supir truk pun mengakui ketenarannya.

Inilah Adit yang sama yang datang ke Kelas Digital lebih cepat 30 menit, dengan langkah yang kalem, dan berikutnya dia membuka peralatan perangnya dari tas ransel hitam, buku-buku yang dibawa, dan segalanya sudah siap di atas meja panjang sembari membelakangi layar proyektor.

Sore itu dia mengenakan hem motif tartan warna dominan cokelat dipadu celana abu-abu tua—satu padanan serasi dan ini juga adalah bahasa kode bahwa dia mempersiapkan penampilannya sebaik mungkin laiknya seorang yang berpenampilan sebaik mungkin. Dia berhenti sejenak setelah mempersiapkan perkakas mengajar, seakan masih ada yang janggal, memerhatikan sekitar, dan dia tahu semuanya sudah disiapkan dengan sempurna. Lantas dia ke ruang perpustakaan  dan duduk nyaman di sofa.

Dia tak menghiraukan di sampingnya ada Arlian Buana masih tertidur, membuka gajet canggih, dan bermain-main.

Nody, yang keusilannya sebaik mengatur urusan internal Komunitas Bahagia, mengintip dan, dengan sudut mata yang diwariskan Rangga dalam Ada Apa dengan Cinta?, melihat sekilas ada nama perempuan di pesan WhatsApp milik Adit yang layarnya terbuka. Adit membalasnya (sungguh, kualitas terbaik yang dia miliki!) dengan makin rajin tersenyum.

Nody tahu bahwa sehari sebelumnya dia juga memergoki Adit tengah mengetik pesan panjang ke seorang perempuan. Dan dia tahu bagaimana keusilan difungsikan, “Lagi ngapain, Dit?”

“Menunggu balasan,” jawabnya. Jawaban pendek. Bisalah dirangkum: Sebuah Jawaban Khas Adit.

 

SAAT para peserta mulai berdatangan, Adit segera membuka sesi hari ketiga tentang mempelajari karakter situsweb. Dia memberikan gambaran masing-masing situs, dari portal berita, blog bersama dan sebagainya. Dari Detik hingga New York Times, dari Kompas hingga Buzz Feed.

Kami merangkum sejumlah ucapan yang penuh bahasa kode dan kepribadian yang sangat mungkin bicara tentang kisah personal Adit. Izinkan kami menyebut Kutipan Bahasa Kode Adit.

aku
KBEA/ Eko Susanto

 

“Kuantitas bukan jaminan,” katanya saat menyinggung jumlah trafik sebuah situsweb. “Kuantitas tidak sama pentingnya bagi setiap orang.” Trafik tidak menentukan kualitas.

Situsweb yang dioptimalkan dengan baik dan serius menekankan pada tepat pacaran sasaran atau sama dengan pembaca tetap, menurut Adit.

Dia mengatakan situsweb, yang sekiranya mendapat kunjungan membeludak, mesti disiapkan dengan matang.

“Nggak apa-apa sekali-dua kali down, biar tahu rasanya.”

“Jangan takut-takut uji coba untuk PDKT pada situsweb kita, untuk mengukur bagaimana dampaknya (bahwa kita kuat).”

“Kalau sendirian kadang bingung, mau diskusi sama siapa. Riset sendiri, memutuskan sendiri.”

Calon pasangan hidup Situsweb menurut kita bagus, belum tentu menurut orang lain.

 

EVALUASI

Hari kelima dan keenam, Fikrie dan Rifqi, mengupas tentang diskusi media sosial serta cara-cara memantau dan menganalisis media sosial. Jumlah peserta naik-turun.

fikri
KBEA/ Eko Susanto

 

Mukhamad Zulfa dari RMI – Semarang, mengatakan kelas ini membuatnya mengetahui tentang bagaimana menjalankan sebuah portal yang dia kelola dan akan dia terapkan untuk situswebnya tentang pesantren NU di seluruh Jawa Tengah. Dia bilang, setidak-tidaknya bisa “oprak-oprek web.” Dia menginap di Krapyak selama seminggu mengikuti kelas ini.

Giovanni Arthur Pradipta dari komunitas LGBT ingin melakukan perubahan untuk portal lembaganya sesudah mengikuti kelas digital. Dia masih bekerja sendirian. Dia tahu dia tidak paham tentang bahasa pemrograman. Dia punya rencana, itu bisa diserahkan pada webmaster sementara dia akan menjalankan bagian kampanye dengan memanfaatkan kanal-kanal medsos.

Seluruh peserta yang datang hari Sabtu, 7 Februari, menyepakati akan bertemu lagi di kantor Komunitas Bahagia pada 17 Februari untuk melakukan evaluasi pada masing-masing proyek personal yang menjadi kewajiban mereka, hasil dari kelas ini. Kebanyakan sudah memiliki situsweb, tapi sebagian lain juga ingin mengubah dari segi tampilan dan sebagainya. Ada pula yang belum membikin dan perlu membeli hosting. Daftar poin evaluasi dari ketiga pengajar akan didiskusikan para peserta. Agar cukup mendalam, pertemuan evaluasi dimulai pukul 10:00.

rifqi
KBEA/ Eko Susanto

 

————

Ditulis oleh Nody Arizona dan Fahri Salam, kerani kelas.

Share, ya!

Facebook
Twitter
WhatsApp

Komunitas Bahagia EA