Tentang Bekerja Riang Gembira

Tanto Tani, Tanto Kandang, entah apa lagi sebutan buat Mas Tanto. Saya tak kenal secara pribadi, tak pernah bertemu, dia juga sudah dipeluk ibu bumi yang disayanginya, belasan tahun silam. Jauh sebelum saya menginjakkan kaki di Yogyakarta.

Saya hanya mendengar cerita-cerita tentang dia dari orang yang sempat berinteraksi dengannya. Setidaknya ada orang-orang yang bercerita tentang Mas Tanto yakni Puthut EA, Saleh Abdullah, Pak Roem, sekretaris WS Rendra yang saya lupa namanya dan pernah belajar ke Mas Tanto juga.

Saya baru tahu namanya dari Puthut EA pada 2014 silam ketika mengumpulkan tulisan-tulisan nonfiksi yang kemudian diberi judul ‘Mengantar dari Luar’.

Mas Puthut di ceramah pertama ‘Kecil Itu Indah’ juga sempat bila bahwa dari Mas Tantolah dia mendapat rekomendasi bacaan karya Schumacher ini. Puthut kemudian membaca buku itu dari pinjam milik temannya.

Mas Tanto orangnya tentu saja nyentrik, kandang kambing di depan rumahnya. Dan kambing-kambing itu dia anggap sebagai saudara jadi dia pantang memakan saudara sendiri. Saya masih tidak mengerti dan tak habis pikir kenapa ada jenis manusia yang meletakkan kambing di depan rumah.

Tapi begitulah Mas Tanto, suatu hari dia kedatangan murid yang hendak belajar bertani di rumahnya. Dia meminta murid itu menggali lubang tanah. Murid itu lantas bertanya untuk apa. Mas Tanto memintanya anak itu menjadikan lubang galiannya sendiri untuk tidur. Entah saya lupa ‘si murid’ diminta melepas baju atau tidak. Tidak melepas pun saya juga tidak bisa membayangkan. Lebih tidak bisa membayangkan lagi bila Mas Tanto tidak memberikan penjelasan. Hanya perintah.

Suatu hari Mas Tanto ini pula yang memberikan bulir padi kepada Dik Puthut. Dia meminta Dik Puthut merawatnya baik-baik benih pemberiannya sambil berpesan, “kelak seumur hidup jika Dik Puthut punya anak, pasti anak Dik Puthut tidak akan kelaparan. Satu benih ini akan menghasilkan 300an bulir padi. Tanam semua lagi. Masing-masing akan menghasilkan 300an bulir. Tanam lagi. Alam membalas lebih banyak dari yang kita berikan, memberi lebih dari yang kita butuhkan.”

Ada lagi kisah seseorang yang dimarahin Mas Tanto sebab dia ingin menukar ‘anak rohani’ Mas Tanto dengan lembaran-lembaran rupiah. Seseorang ini memang teramat keterlaluan, menukar pemberian dengan uang. Orang ini setelah berkata “Berapa harus mengganti?” Kemudian sadar kekeliruan yang dibuatnya. Dia meminta maaf seketika itu juga berkali-kali. Dia peluk Mas Tanto mengatakan kekhilafannya. Orang ini Anda kenal semua, yakni Saleh Abdullah.

Mas Tanto menurut banyak kisah, ia senantiasa menyapa tanaman yang ditanamnya dengan cara gila. Tanaman-tanaman itu diajaknya berbicara setiap dia berinteraksi dengannya. Barangkali begini, “Hei, padi. Hai tomat. Tumbuhlah dengan baik.”

Kelakuan yang di luar nalar bagi orang awam sepertiku, namun begitulah cara Mas Tanto bekerja. Petani lain yang melakukan itu adalah Mas Danang. Rifqi masih belum, dia hanya berencana membacakan lele literasi beberapa larik puisi. Kemajuan juga. Terlebih Rifqi mulai tidak sadar kalau saya sering mengerjainya dengan bikin tali menali di celana jeansnya dengan rafia. Teman-teman harap maklum kalau besok-besok Rifqi mulai mengajak tanaman ngobrol ya.

Apa yang dilakukan Mas Tanto dengan mengajak komunikasi tanaman itu karena dia menganggap tanaman sebagai makhluk hidup juga. Sama seperti manusia. Sama seperti hewan dan mineral yang dikandung bumi.

Keseimbangan komunikasi antarmakhluk itu dibutuhkan dan menjadi kehendak dari semesta. Hal inilah yang dilakukan oleh Mas Tanto dengan mengajak tanaman, juga tanah untuk berkomunikasi. Atau mengangkat kambing sebagai saudaranya.

Sampai sini saya tidak berani melanjutkan, khawatir salah. Namun, apa yang dipraktekkan Mas Tanto adalah pola komunikasi yang dijelaskan oleh Schumacher melalui buku yang lain ‘Keluar dari Kemelut’.

Pak Roem memberi catatan penting di sini, menurutnya kalau pola komunikasi dengan alam yang tidak seimbang. Sebagai misal kita menganggap mineral yang terkandung dalam tanah hanya sebagai pendapatan dan kapital, bukan sebagai bagian dari ekosistem yang saling terkait. Sebuah daur hidup yang saling terhubung satu sama lain. Saling membutuhkan dan berbagi energi.

Bagaimana pola interaksi Mas Tanto dengan sesuatu yang memberikan penghidupan buatnya dan keluarganya menunjukkan betapa totalitasnya dia bersyukur. Kalau kita sebut sih, ya Mas Tanto bekerja.

Pertanyaannya sekarang, apakah kita melakukan pola interaksi seperti Mas Tanto dengan pekerjaan kita, dengan aktivitas yang menghasilkan sesuap nasi buat kita dan keluarga kita bisa menyambung hidup?

Yang Tidak Bisa Dihitung

Saya memulai bagian ini dari peristiwa kecil, satu gelas kotor yang tergeletak di dapur Rumah Mbesi. Gelas kotor di tempat cuci piring itu tadinya satu, kemudian bertambah jadi dua. Tambah piring kotor. Sampai 4 hari kemudian semakin menumpuk gelas dan piring kotor.

Kebiasaan yang terjadi ini pernah membuat sebagian kita di sini akhirnya berkumpul. Di forum itu, Prima bercerita tentang apa yang dikatakan oleh Pak Roem kepadanya. Singkatnya, kalau melihat berjalan tidak suatu organisasi lihatlah dari kebiasaan-kebiasaan kecil orang di dalamnya. Kebiasaan mengembalikan barang yang udah dipakai ke tempatnya. Kebiasaan membersihkan gelas yang sudah digunakan.

Satu gelas kotor yang saya ceritakan di awal tadi bisa digunakan untuk melihat apa yang sedang berlangsung di rumah mbesi, bagaimana satu orang bisa memahami orang lainnya, bagaimana pola interaksi antarmanusia di sana, apakah ada sistem kerja bersama yang tanpa ada petunjuk membuat para penghuni rumah mengambil inisiatif membersihkan bersama.

Zaki yang juga hadir di forum itu membawa memaknai beda apa yang disampaikan Pak Roem melalui Prima. Yakni, kebiasaan untuk mengembalikan barang kecil yang digunakan bisa jadi cerminan apakah kita punya kesadaran untuk bertanggung jawab atas gagasan-gagasan dan ide-ide yang dilontarkan. Tidak cuma melempar ide, gagasan, keinginan, tapi juga melaksanakan.

Saya memberi contoh di sekitar kita, saya sendiri mudahnya haha… saya bikin ekspedisi pantura dan masih berhutang karya ke buku mojok sampai sekarang.

Saya kira, menjaga gagasan terlaksana dan menjadi karya itu bukan hal mudah. Belum selesai keinginan satu, udah ingin yang lain. Tidak ada keteguhan mewujudkan keinginan. Tidak ada tanggung jawab penuh untuk mengawal sampai tuntas. Ditunda sebentar saja, kita lupa, dan udah punya keinginan lain.

Saya beri contoh lain, Agus ini termasuk orang yang baik dan bertanggung jawab. Suatu kali dia melontarkan ide membeli meja pimpong dan dibelikan. Buatku nggak teramat penting nilai rupiahnya. Yang penting adalah Agus kemudian mengetahui meja pimpong yang dibeli karena permintaannya itu tak terurus di rumah Mawar dan kemarin meja pimpong dibawa ke rumahnya. Maksud baik dia, kalau di rumahnya barangkali ada yang urus, memakainya sesekali untuk olahraga bersama anak asuhnya, Dafi atau Gusdurian.

Saya senang misalkan orang-orang di sini punya keteguhan seperti Agus. Merawat keinginan dalam jangka panjang. Teguh menjalani dan tidak mudah goyah. Prima misalkan, kembali memimpin mojokco, menjalankan rutinitas harian di sana karena itu membuatnya bisa lebih manusiawi seperti yang diutarakan ketika ingin mojokco tetap ada.

Teman-teman, kita ini sekarang hidup di zaman penuh distraksi, gangguan-gangguan kecil banyak sekali yang membuat mudah goyah. Rentan beralih. Jangankan untuk waktu yang panjang. Niatnya berangkat ke soto pak samsul dan kita telah melakukan perjalanan ke sana, tapi tiba-tiba sadar ada di warung makan lumintu karena di perjalanan itu terbesit ayam goreng rempah. Tak sesuai dengan niat awal yang ditetapkan.

Bersabarlah. Tak perlu banyak dipikir. Kerjakan apa yang bisa dikerjakan. Yang di depan mata. Jangan mudah goyah diambang-ambing badai keinginan.

Kita mengenal Kak Nunu orang sering kita sebut pakar media, Nuran yang mengetahui banyak hal tentang musik dan menuliskan dengan baik, fawaz tentang pendidikan, Hasby terkait bisnis, alfa di sistem kerja dan perburuhan, dll. Yang saya garisbawahi di sini adalah dalam hidup mereka, ada garis yang tergores di telapak tangan dan kaki mereka yang menjadi saksi berapa waktu dan energi yang dicurahkan untuk berkutat pada hal-hal yang sama setiap hari.

Saya agaknya ragu bila apa yang mereka kerjakan sehari-hari tak pernah terbawa ke alam mimpi dan membuat terjaga di malam hari.

Tentang ‘Yang Tak Bisa Dihitung’, saya meminjam dalam rumus matematis, dalam rumus kimia dan fisika berlaku pula prinsip ini. Atau kita menyebutkan di luar prediksi, abnormal, keluar dari jalur, atau menyimpang. Kesemua sama, membawa implikasi kekacauan di masa mendatang.

Berikut ini hal-hal yang masuk kategori ‘Yang Tak Bisa Dihitung’. Teman-teman bisa jadikan bahan permenungan.

1. Rakus
Rakus di sini bisa macam-macam bentuknya. Bisa jadi karena kita ingin terlalu banyak hal. Misalkan ingin dapat pendapatan lebih dengan mengambil kerjaan banyak. Tiga atau empat berbarengan. Tapi lupa kemampuan. Di hari satu, ok. Dua, ok. Di hari ketujuhbelas kok malah kehabisan energi sehingga kesemua kerjaan terganggu.

Rakus pula yang seringkali membuat kita melanggar prinsip-prinsip etis. Mencuri. Korupsi, dll. Rakus pula yang membuat kita seringkali melanggar batas atas yang harusnya dilakukan oleh teman kita.

2. Narsistik
Narsitik bentukanya juga macam-macam. Bisa keinginan kecil di hati kita untuk dianggap dan mendapatkan penghargaan dari orang lain. Bisa itu publikasi media, akun media sosial. Narsitik pula yang kerapkali membuat kita bocor dan ceroboh yang bisa jadi petunjuk bagi orang lain untuk menyerang kita di kemudian hari. Bapak Arsip Nasional tentu lebih paham akan hal ini.

Narsis bila berlebihan akan membawa kita ke dunia panggung, dikeramaian, dan mendapatkan keplok dari banyak orang. Tapi, perlahan kita terbuai dan berbelok arah dari tujuan awal.

Dua sifat itu juga yang membawa pandemi di hadapan kita hari ini. Hanya saja konteksnya kerakusan berwujud dalam bentuk lain. Menganggap sumber daya alam dan apa yang tersedia di alam sebagai milik kita sendiri sehingga mau dihabiskan ke semuanya. Diubah menjadi kapital dan kepongahan individu atau kelompok yang tak ada pentingnya buat kebaikan bagi manusia lainnya.

Ilmu Perhitungan, Insting, & Kesejahteraan II

Baiklah, saya perlu bergegas dan malanjutkan bagian ini buat pengantar ceramah Hasby tentang ‘mengatasi bisnis di era pandemi’. Teman-teman sebaiknya menyempatkan menyimak.

Yang perlu saya bilang secara jujur adalah Buku Mojok, Akubaca, dan Mojok Store punya peluang besar maju pesat sekarang. Buku mojok misalkan punya peluang sejajar atau menyalip 3 group besar penerbit besar di Indonesia. Infrastuktur dan sdm yang dimiliki semua. Ada jong, mas fikri dan rifki, alfa yang punya pengalaman di sektor perburuhan dan pembagian kerja bisa diperbantukan, dan di belakang zaki udah membangun sesuatu yang dibutuhkan 2 atau 3 tahun lagi.

Saya juga mengukur sdm dan infrastuktur dari 3 group besar yang dimaksud. Kekurangan kita hanya tak punya modal. Tapi daya imajinasi, strategi, padu padan sdm untuk mendukung tindakan taktis? Hmmm. Romlah 3 atau 4 langkah di depan. Suatu hari Romlah memanggil Akbar, sekarang dia di Akubaca, cuma untuk jalankan kerjaan nggak masuk akal; telepon atau dm akun2 toko Gramedia dan bertanya ada bisa pesan Nanti Kita Sambat tentang Hari Ini? Saya mau beli. Padahal buku itu tidak diperbolehkan masuk Gramedia sebelumnya.

Makroekonomi masih kinerja positif saat ini. Masih bagus. Tumbuh. Tinggal mau manfaatkan momentum dan ambil peluang atau tidak.

Tapi peluang seperti apa yang hendak diambil oleh Romlah Buku Mojok dll, bukan ke arah sana. Nggak teramat penting buat kita bersaing dengan cara ekspansif. Ada sesuatu yang lebih penting dan menjadi prioritas.

Saya coba urai cara menghitung ‘kesejahteraan’ karena ini menjadi titik tolak berangkat dan menjadi bahan pertimbangan untuk masing-masing organisasi di KBEA bilang; ok, cukup sampai sini.

Memulainya bukan dari sesuatu yang di luar kita, tapi dari dalam yakni anggota di masing-masing organisasi kerja. Apa saja kebutuhan yang perlu diwujudkan dihitung secara rigid.

Saya beri ilustrasi di Matawarna. Perlu dihitung kebutuhan hidup dari pekerja di dalamnya. Kebutuhan pokok, sandang, papan. Tabungan hari tua. Biaya kesehatan. Pekerja juga punya keluarga. Itu semua menjadi faktor kunci untuk menghitung tingkat kesejahteraan menjadi bentuk yang bisa dilihat dan diukur. Kemudian jadi pedoman melangkah ke depan.

Oiya, ini jangan sampai lupa. Ada pemegang saham yang juga perlu diberi kue sesuai dengan porsinya. Mereka bagaimanpun juga sudah bertaruh uang dan pikiran yang besar buat matawarna.

Dari sana akan terlihat skala minimal pendapatan yang perlu didapat oleh matawarna. Target pendapatan bulanan yang ditetapkan perlu mempertimbangkan ‘angka kesejahteraan’. Dari sana baru diperjelas lagi ke perhitungan berapa eksemplar buku yang harus dicetak.

Ilustrasi tersebut bisa juga oleh Rifqi, filsuf pertanian kita, memulainya dari dalam. Sesuatu yang nyata dan dekat. Kebutuhannya ‘angka kesejahteraan’ berapa. Lalu masuk lagi ke perhitungan lahan yang dibutuhkan. Kalau sudah ada lahannya bisa melihat lagi luasan dan apa yang bisa digarap serta menghasilkan nilai maksimal dengan cara apa. Kalau luasan lahan kurang, maka apakah perlu menambah lahan atau cukup dengan menghadirkan sesuatu yang lebih memberi nilai produktifitas lain di lahan yang ada.

Di Buku Mojok juga begitu. Kebutuhannya dari dalam. Kalau masih kurang di porsi untuk pemilik saham atau kebutuhan pekerja dan komunitas, buku mojok boleh menambah pekerja.

Ikuti saja perkembangan waktu demi waktu. Daya cipta, kreasi, dan kebahagiaan tidak boleh lepas dari orang-orang yang menjalankan ketika mencapai tiap goals dan kemenangan-kemenangan kecil di depan. Boleh bikin pesta kecil dengan makan2 bersama dan sesekali minum-minum tapi tidak berlebih. “Segala yang berlebih itu tidak baik,” demikian kata Bilven Sandalista.

Sampai titik ini, Romlah memutuskan tidak ingin lagi mobil mini cooper. Sebab, itu di luar kebutuhan dan justru berpeluang membuat Romlah menjadi congkak. Boleh punya mobil kantor, tapi sesuai kebutuhan pilihnya.

Resume Kurpol Tingkat Lanjut KBEA Tentang Organisasi

Pak Roem adalah orang yang sulit ditebak dan suka memberikan ‘PR’ buat teman, kerabat, dan murid-muridnya.

Kita dibuat mencari jalan untuk berhitung dan membuat ukuran kesejahteraan. Murid-muridnya di Makassar masih belum selesai dengan PR yang dia berikan. Sedangkan, dia udah berpikir hal lain. Sekarang dia sibuk dan bersemangat sekali untuk berimajinasi, bagaimana bila ternyata Mekkah yang dimaksud dalam Al-Quran itu ternyata tidak di Arab? Melainkan di suatu daerah di Yordania. Bukankah eskalasi global akan berubah? Bahkan surau-surau di kampung pun akan berubah arah. Tidak menghadap Arab, melainkan Yordania.

Bagi yang mengenal Pak Roem secara pribadi akan bisa membayangkan bagaimana dia bersemangat dan ketawa cekikikan setiap kali menemukan hal baru. Persis seperti seorang anak kecil yang mendapatkan mainan baru. Dengan citra satelit dia melacaknya. Di sini kah yang dimaksud. Atau di kota itu. Dokumen-dokumen lama dari berbagai bahasa dia buka lagi.

Namun, belum siap orang untuk diajak mengunggat dan memperdebatkan wacana tersebut. Barangkali perdebatan akan berlangsung puluhan tahun lagi.

Saya sendiri masih meraba-raba untuk melanjutkan tulisan yang kemarin. Karena belum nemu jawaban jadi saya akan membagikan hal lain di ceramah kali ini.

Resume materi KURPOL TINGKAT LANJUT KBEA TENTANG ORGANISASI. Pemateri Puthut EA.

Sebentar. Pastikan Anda ambil masih bernafas. Sekarang ketahuilah di mana Anda berada. Bila di kantor, ketahuilah lagi duduk di mana. Bila sedang kerja di rumah juga sedang berada di mana. Apakah kakimu masih menginjak bumi?

Syukurlah kalau Anda semua masih bernafas dan sadar kakinya masih menginjak bumi. Itu artinya Anda masih menjadi manusia biasa. Sama sepertiku.

Sekarang bayangkanlah organisasi kerja Anda sebagai tubuh. Organisasi menganalogikan sebagai tubuh makhluk hidup. Lebih mudahnya bayangkan bagaimana tubuhmu bekerja. Organisasi berasal dari kata dasar; organ. Tubuh. Ada mekanisme kerja, pembagian peran, arah langka, dan prinsip-prinsip yang tidak boleh dilanggar.

Lanjut ya. Sekarang bayangkanlah organisasi tempatmu bekerja. Ada berapa manusia yang bekerja dengamu. Sebutkan nama-namanya. Ada berapa orang? Lalu di sana kamu berperan sebagai apa dalam analogi tubuh manusia. Ada tangan dan kaki, telinga dan hidung. Ada pikiran dan hati. Di sana kamu berperan sebagai bagian apa? Dan siapa yang menjadi pemimpin atau kepala? Dan prinsip-prinsip yang tidak boleh dilanggar Anda bayangkan sebagai hati.

Jelajahi mekanisme bekerjanya dan bagaimana setiap orang di dalamnya dituntut untuk berbagi peran. Setiap orang punya posisi dan peran masing-masing. Biarkanlah itu semua bekerja sebagaimana wajarnya. Tangan tidak cocok digunakan untuk berjalan. Tidak kuat menanggung beban tubuh yang berat. Apalagi Anda bisa membayangkan tubuh Seno misalkan.

Bila Anda sedang di kantor, rumah, kamar, atau ruangan. Cobalah buka pintu. Keluar melihat langit. Semesta punya cara kerja dan aturan main yang sama, kan?

Ilmu Perhitungan, Insting, & Kesejahteraan

Kata ‘sejahtera’ seringkali kita pakai ketika memilih pemimpin atau dalam menentukan apa yang hendak dicapai dalam menyusun tujuan kehidupan bersama. Termasuk di komunitas kita.

Di Buku Mojok misalnya visi yang disepakati oleh teman-teman di eksekutif dan komisaris meletakkan ‘kesejahteraan’ sebagai visi.

Namun, dalam prakteknya kita sering abai dan lupa untuk mewujudkannya atau sekadar menjadi pemanis saja. Bahkan untuk membayangkan ‘sejahtera’ seperti apa yang dimaksud tidak bisa menjelaskan dengan baik. Continue reading Ilmu Perhitungan, Insting, & Kesejahteraan